Join RevolverNC's empire

Kamis, 05 Mei 2011

Dari Masa ke Masa - Flower Generation & Hippies'

[NC11-AM] 1959, perang Vietnam dimulai. Tak ada yang tahu bahwa perang ini akan menimbulkan sesuatu yang fenomenal dan menjadi legenda di kemudian hari. Perang Vietnam ini telah melahirkan satu generasi legendaris yang disebut dengan Flower Generation (Generasi Bunga).

***

Jika anda melihat ke belakang sejenak, pada masa remaja orang tua kita, sekitar tahun 1959 - 1975, mungkin kalian akan menemukan segepok foto yang gambarnya sekelompok pemuda dengan dandanan nyentrik. Beberapa pemuda berambut gondrong berpakaian warna-warni, celana cut bray dan sepatu pantofel. Ya, itulah bukti bahwa Flower Generation juga menjalar hingga ke Indonesia, dan tidak hanya dalam musik dan fashion, melainkan juga gaya hidup.

Tidak sekedar seks bebas yang dulu masih dianggap tabu di Indonesia, melainkan juga drugs. Saya masih ingat cerita paman dari ayah saya, yang menceritakan masa mudanya - waktu itu awal tahun 1970-an. Beliau dengan bangga memamerkan fotonya, yang saat itu dia masih berambut kribo ala Ucok A.K.A atau Ahmad Albar. Dia juga dengan mata menerawang dan sesekali tertawa kecil menceritakan bagaimana nakalnya dia waktu remaja. Musik rock, obat-obatan terlarang dan alkohol adalah teman sejati. Dia juga menceritakan bagaimana dia dan teman-temannya sempat sekarat karena menenggak beberapa butir pil psikotropika dan beberapa botol minuman keras. Mungkin cerita dari paman ayah saya merupakan salah satu bukti bagaimana perilaku hidup ala Hippies juga merasuk dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

***

Flower Generation merupakan satu generasi yang didominasi oleh anak muda berumur di bawah 30 tahun yang hidup dan tumbuh berkembang pada era akhir 60-an hingga awal 80-an. Flower Generation ini sebenarnya muncul sebagai counter culture terhadap budaya kemapanan para orang tua dan lingkungan sekitar.

Sistem yang berlaku di Amerika umumnya – sama saja dengan Indonesia- adalah sekolah dan kuliah yang rajin, lulus dengan nilai baik, mendapatkan perkerjaan dengan gaji bagus dan hidup terhormat. Para anak muda yang masih dalam tahap pencarian jati diri, cenderung eksplosif, pemberontak dan kritis berusaha berontak terhadap sistem kemapanan semu ini. Belum lagi isu rasial, perang dingin dan ancaman perang nuklir yang juga menjadi trigger lain dari kelahiran Flower Generation. Gerakan ini seakan menjadi bom waktu yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk di ledakkan dan ledakannya menyebar ke seluruh dunia.

Bom waktu itu meledak juga. Pada tahun 1959 dimulailah perang Vietnam. Para kumpulan anak muda yang sudah merasa muak dengan sistem kemapanan dan perang, berkumpul menjadi satu dan lahirlah sebuah generasi baru, Generasi Bunga.

FLOWER GENERATION DAN HIPPIES

Flower Generation untuk merepresentasikan “fight with flower” (lawanlah dengan bunga) yang melambangkan kelembutan, dan tidak dengan kekerasan. “Flower” (bunga) memang melambangkan sesuatu yang lembut. Hal itu sangat pas dengan keadaan pada zaman itu, dimana pemerintah Amerika sendiri mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat, terutama kaum muda, lalu melakukan berbagai perlawanan. Pada masa itu, mereka memberontak dengan gayanya sendiri, cenderung bebas dan terkesan “liar”. Banyak ciri-ciri yang bisa kita lihat pada pengikut gerakan bunga ini, yang rata-rata berpenampilan seragam.

Para pengikutnya disebut Flower Children. Mereka berpakaian ham press body (kemeja ketat) dengan warna yang mencolok mata (diilhami dari halusinasi saat memakai marijuana atau LSD), celana baggy atau cut bray, memakai ikat kepala (bandana) bagi pria, dan memakai bandana panjang - ala peramal hippy zaman dahulu - bagi wanita. Kebanyakan dari mereka tidak melakukan apa-apa kecuali duduk di pinggir jalan sambil membawa spanduk berisi ajakan penolakan perang dan slogan perdamaian, bermain gitar sambil bernyanyi. Tapi jangan anggap pakaian mereka itu norak. Di kemudian hari, gaya berpakaian mereka dianggap salah satu pengaruh terbesar bagi dunia fashion.

Para Flower Children ini sering diasosiasikan sebagai kaum hippies. Menurut Jesse Sheidlower, seorang leksikografer yang juga seorang editor dari Oxford English Dictionary, terms “hipster” dan “hippie” berasal dari kata “hip” yang sebenarnya arti aslinya tidak diketahui. Malcolm- X sendiri pernah mengungkapkan dalam biografinya, bahwa “hippy” sendiri merujuk pada orang kulit putih yang bertingkah seperti orang negro, bahkan melebihi tingkah polah negro itu sendiri. Banyak orang melambangkan kaum hippy dengan kebebasan dan ketidakteraturan.

Terlepas dari istilah dan makna tersebut, kaum hippies sendiri memiliki pola hidup yang tak teratur, cenderung bebas dan tak terikat pola aturan masyarakat. Flower Children, selayaknya sebutan mereka sebagai kaum hippies, mereka cenderung hidup bebas. Bebas dalam arti luas tentunya. Hidup bebas atau malah bebas menggunakan obat-obatan terlarang. Selain itu kaum hippies cenderung hidup menyendiri dalam kehidupan bersama dan berusaha keluar dari kehidupan formal, baik dari sistem kekeluargaan tradisional, pekerjaan, pendidikan, maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya.

Mereka biasanya vegetarian dan memakan makanan yang tidak diolah dan mempraktekkan pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif seakan juga menjadi simbol perlawanan bagi sesuatu yang mapan, dalam hal ini pengobatan modern. Mereka mempunyai jargon “Back to Nature” atau gerakan kembali ke alam. Gerakan ini sekarang kembali populer di abad 21. Mereka menjalankan gaya hidup terbuka dengan tingkat toleransi tinggi yang sangat kontras jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat formal saat itu.

PERIODE EMAS ROCK N ROLL?

Dalam pandangan saya, musik pada zaman itu adalah masa kejayaan musik rock n roll. Mulai yang dianggap terbesar, The Beatles hingga sang pelopor Heavy Metal, Led Zeppelin, Deep Purple atau Black Sabbath. Memang, sejarah mencatat periode 1959 hingga 1975 sebagai periode kejayaan musik rock. Dimana para legenda lahir dan seakan menjadi “nabi” yang membawa wahyu dan pencerahan bagi para pendengarnya.

Musik rock mereka pun bermacam jenisnya. Mau yang sedikit lembut dan “manis”? ada The Beatles, atau mau musik rock dengan vokalis yang punya range vocal tinggi dan solo gitar mewah? Ada Led Zeppelin dan Deep Purple. Adapula yang sedikit gelap dengan bumbu psychedelic seperti The Doors dan 13th Elevator. Hingga progresif macam YES atau Pink Floyd. Wanitanya pun tidak ketinggalan. Ada sang ratu musik rock yang namanya tetap abadi sampai sekarang, Janis Joplin. Anda mengaku sebagai rocker tapi tidak kenal siapa mereka? Masuk nerakalah anda!

Pergerakan musik rock era Flower Generation ini mencapai titik kulminasi pada tahun 1969. Sebuah lahan pertanian seluas 240 hektar milik Max Yasgur yang terletak di Bethel, New York menjadi saksi bisu dari sebuah acara legendaris yang diadakan mulai tanggal 15 – 18 Agustus. Woodstock adalah nama pagelaran itu. Sebuah pagelaran musik raksasa paling bergengsi yang masuk pada “50 Moments That Changed the History of Rock and Roll” versi Rolling Stone. Musisi yang tampil disana adalah beberapa nama yang kita kenal hingga sekarang. Mereka melambangkan etos solidaritas dan semangat. Kata semangat mungkin pantas ditujukan pada Joan Baez yang pada saat tampil, dia sedang hamil 6 bulan! Santana, The Grateful Dead, CCR, The Who, Jhonny Winter dan Saudaranya, Edgar Winter, Janis Joplin, dan ditutup oleh sang dewa gitar, Jimi Hendrix, adalah beberapa nama yang tampil di Woodstock paling legendaris itu. Diperkirakan lebih dari 500.000 “hippies” datang dan menyaksikan acara ini.

Di Indonesia sendiri, musik ala The Beatles pun sempat masuk dan menjadi trend, meskipun mendapat perlawanan yang keras dari pemerintah.

Koes Plus Bersaudara tentu tak akan lupa pengapnya terali besi yang mereka rasakan saat presiden pertama kita memenjarakan mereka karena beliau menganggap musik mereka dianggap mirip The Beatles. “Ngak Ngik Ngok!” adalah istilah untuk musik mereka. Warisan imperalis kapitalis! Teriak mereka yang membenci musik ini.

***

Pernah menonton Almost Famous? Film yang bersetting pada tahun 1973 ini adalah film garapan Cameron Crowe yang bercerita tentang seorang anak muda yang bekerja di majalah musik Creem, lalu direkrut untuk menulis di majalah Rolling Stone. Film ini adalah salah satu film yang menceritakan dengan gamblang bagaimana kehidupan para bintang rock, groupies hingga orang tua pada zaman itu.

William Miller, sang wartawan remaja itu seharusnya menulis tentang Black Sabbath. Tapi karena tidak memiliki tiket, maka dia tidak diperbolehkan masuk ke dalam gedung pertunjukan. Ditengah cara memikirkan cara masuk ke dalam konser untuk meliput Black Sabbath, dia bertemu dengan gerombolan cewek yang tidak mau disebut groupies. Mereka mendeklarasikan diri mereka sebagai Band Aides. Mereka beranggapan kalau groupies adalah wanita murahan yang mau tidur dengan seorang bintang rock untuk mendapat popularitas, tapi mereka beda. Mereka juga bilang tidak akan berhubungan seks dengan para pemain band itu. Juga tidak akan jatuh cinta pada mereka. Gerombolan Band Aides ini dipimpin oleh seorang wanita cantik bernama Penny Lane yang diperankan sangat apik oleh Kate Hudson. Kate sendiri pada dunia nyata menikah dengan vokalis The Black Crowes, Chris Robinson, meski pada akhirnya mereka bercerai.

Setelah mengetahui perbedaan antar groupies dan Band Aides, William bertemu dengan sebuah band mediocre, Stillwater. Pada akhirnya, William memutuskan untuk menulis tentang band ini dengan cara mengikuti tour band ini meski hal ini sempat ditentang oleh ibunya.

Perjalanan yang menggambarkan gaya hidup di zaman Flower Generation pun diceritakan dengan sangat jelas, kalau tidak mau dibilang eksplisit, oleh Cameron Crowe yang memang pernah bekerja sebagai wartawan di Rolling Stone dan pernah mengikuti tour band raksasa seperti The Allman Brothers, Lynyrd Skynyrd hingga Led Zeppelin.

Ganja, LSD, seks adalah suatu hal yang biasa saat itu. Justru kalau ada orang yang tidak memakainya, mereka akan dianggap aneh oleh orang lain. Hal ini tercermin saat ibu William mengantar William ke konser Black Sabbath.

“Don’t take drugs!” seru sang ibu. Tapi yang terjadi adalah orang-orang yang mendengar jeritan sang ibu hanya tertawa sinis dan mengulang kalimat sang ibu dengan gaya sarkas. Hal ini sedikit banyak melambangkan sikap orang tua yang kontras dengan gaya hidup pada saat itu.

KONSTRUKSI GAYA HIDUP ALA ROCKSTAR

Bintang adalah bintang. Meskipun pada masanya bintang akan meredup. Tapi saat masih menjadi bintang, kenapa tidak dimanfaatkan? Dan para rockstar pada generasi bunga pun sadar kalau mereka adalah bintang. Mereka hidup di zaman kebebasan, jadi kenapa juga mereka tidak hidup bebas? Mereka pun hidup sesuai aturan yang berlaku disana pada saat itu, yaitu no rules!

Pola hidup mereka telah terstruktur untuk hedon dan bebas. Karena mereka idola, wajar jika gaya hidup mereka diikuti oleh para penggemarnya. Yang lebih keren, sang pemuja benar-benar mengamini gaya hidup para “nabi” rock n roll itu. Hal ini merupakan hal yang lumrah, pemuja mengikuti dan meniru segala hal tentang idolanya. Dan para pemujanya pun tumbuh menjadi calon bintang rock. Mereka adalah orang-orang yang akan meneruskan tahta menjadi bintang dan pembawa pesan rock n roll pada seluruh umat manusia di masa yang akan datang. Axl Rose, Izzy Stradlin, Slash, C.C Deville, Vince Neill atau Tommy Lee, mungkin adalah beberapa nama yang saat itu masih sangat muda dan memuja Jimi Hendrix, Mick Jagger, Keith Richard atau Jim Morrison.

Apa yang lalu terjadi? Selain karena faktor patologis, otak mereka jadi terstruktur bahwa seorang rocker, musisi rock, harus bersikap seperti itu. Pemberontak, urakan, suka minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, meniduri banyak groupies atau melemparkan tv dari kamar hotel mereka. Jadilah mereka manusia, idola dan binatang secara bersamaan.

Mungkin mereka tidak sadar bahwa sikap mereka telah mengancam populasi rocker di masa depan. Di Indonesia sendiri, menerapkan gaya hidup seperti itu adalah tidak mungkin. Para orang tua, terutama ibu, akan khawatir kalau anaknya bercita-cita menjadi rocker. Ya betul, orang tua tentu takut sang anak akan mati overdosis, atau menjadi pecandu alkohol, menghamili groupies lalu punya anak haram. Di Negara liberal seperti Amerika atau Inggris, mungkin hal itu adalah biasa. Tapi di Indonesia?

Saya jadi berandai-andai. Andai saat itu, Jimi Hendrix tidak menggunakan LSD. Membayangkan Jim Morrison membawa injil dan setiap minggu pergi ke gereja. Bermimpi andai Janis Joplin beragama Islam, berkerudung, rajin sholat dan mengaji di masjid. Andaikan saja para rocker tersebut bersikap manis, mengajarkan para pemujanya bagaimana seorang rocker bisa bersikap manis dan sopan.

Andai saja semua rocker bisa berpakaian seperti The Beatles. Rapi, tidak memakai celana jeans butut yang robek di bagian lutut. Dengan rambut pendek, bukannya gondrong awut-awutan. Andai saja para rocker jaman dahulu mengajarkan untuk jangan minum alkhol, jangan nyimeng, jangan pake heroin, belajar yang rajin, pastilah orang tua setuju kalo anaknya jadi rocker. Mungkin akibatnya tidak begitu terasa di Negara liberal. Tapi di Indonesia sendiri, dampaknya bisa jadi sangat terasa. Mungkin tahun 70-an, AKA, God Bless atau The Rollies bisa mengilhami para anak muda lain untuk menjadi rocker. Tapi sekarang?

Coba anda bilang ke orang tua anda, “saya tidak mau menjadi dosen, saya mau menjadi seperti Jim Morrison Pak. Saya mau menjadi rocker! Lalu punya istri yang seperti Janis Joplin,” lalu lihat bagaimana reaksi orang tua anda. Memang tidak semua orang tua akan bersikap kontra terhadap keinginan seperti itu, tapi bisa dipastikan, sebagian besar orang tua di Indonesia akan berpikir seribu kali untuk memperbolehkan anaknya menjadi seorang musisi rock. Ujung-ujungnya pasti kita disuruh bikin band yang alirannya kayak Samsons, Ungu atau Kangen Band, biar bisa dapet banyak duit. Paling pol ya kita disuruh ikutan ajang menyanyi yang banyak mencetak penyanyi karbitan dan idola instant. Tapi jadi rocker? Apalagi tipe rocker seperti Keith Richard, orang tua anda akan berpikir seribu kali untuk memperbolehkan, bahkan kemungkinan besar tidak akan diperbolehkan.

Terlepas dari anggapan negatif para orang tua tentang gaya hidup ala bohemian ini, kita sebenarnya patut mencontoh mereka. Terserah anda mau meniru yang bagian mana, positif atau negatifnya. Di balik sikap mereka yang ugal-ugalan, mereka adalah beberapa nama yang berani bersikap kritis, lalu berbuat sesuatu berdasarkan cara mereka sendiri. Mereka merubah dunia dengan cara mereka sendiri. Mereka adalah beberapa nama yang telah tercatat dalam hitam putih lembar rock n roll. Sebagian dari mereka mati muda? No fucking problem at all. Mereka mati dengan masih mempertahankan idealisme mereka dan mereka mati setelah puas menikmati surga duniawi. Masalah nanti dibakar dan dirajam habis-habisan di neraka, itu hubungan habblu minallah. Kita tidak berhak untuk menghakimi dan menganggap mereka adalah titisan setan. Karena kita bukan Tuhan!

FLOWER GENERATION ABAD 21?

Tahun 1975, perang Vietnam berakhir. Amerika pulang dengan menanggung malu. Ribuan tentara mereka tewas, banyak tentara yang menderita gangguan jiwa akibat dari perang, dan Amerika kalah! Berakhirnya perang itu seakan menjadi lonceng yang mengakhiri kiprah para generasi bunga. Masa hura-hura sudah selesai, saatnya kembali ke dunia nyata. Mereka harus - mau gak mau- kembali ke bangku sekolah. Melanjutkan pelajaran mereka sambil berharap mereka lulus dengan nilai baik dan menjadi salah satu orang yang memakai dasi dan bekerja di balik meja.

Sekarang kita hidup di tahun 2008. Masa dimana teknologi informasi telah menjadi kekuatan baru. Bukan sekedar solidaritas semata yang bisa membangun dunia menjadi lebih baik. Kemudian jejak para anak-anak bunga seakan telah lenyap. Hanya bisa dilihat dari film, poster, atau stiker yang mencantumkan credo “make love, not war”. Lalu apa yang tersisa?

Setidaknya semangat flower generation mungkin masih tersisa, meski Cuma berupa kenangan di dalam hati. Tapi begitu banyak hal dan pelajaran yang bisa kita pelajari dari flower generation. Bagaimana seharusnya manusia, bagaimanapun bentuknya, apapun sukunya, apapun agamanya, jenis kelaminnya, tetap harus memiliki solidaritas yang tinggi. Para pemuda bunga bukanlah tipe pemuda rasialis, yang meributkan perbedaan suku atau agama hingga sampai tega membunuh sesama. Sikap kritis mereka adalah yang paling patut untuk dicontoh. Mungkin gerakan ini sama sekali tidak berhasil menghentikan perang itu. Tapi sejarah mencatat bahwa gerakan ini juga sedikit banyak mempengaruhi kekalahan Amerika di Vietnam.

Musik di era sekarang pun sudah jauh berbeda. Tidak ada lagi lengkingan khas ala Robert Plant, tidak ada lagi solo gitar mewah seperti milik Tomi Iommy, Ritchie Blackmore atau Jimi Hendrix. Sudah jarang sekali wanita yang “berani” dan bernyanyi rock blues penuh penjiwaan seperti Janis Joplin (dalam hitunganku, si Thera Wonderbra masuk ke dalam pewaris mahkota Janis Joplin). Musik sekarang… ya tahu sendiri lah, makin banyak macamnya, mulai musik Emo yang kemarin-kemarin sempet booming, ada Green Day yang dicap punk (?) hingga musik-musik pop cengeng tidak mendidik dan tidak keren macem… uppsss, saya tidak mau menyebutkan nama. Silahkan anda klasifikasikan sendiri…

Saya jadi bermimpi lagi. Berandai-andai lagi, saya lahir pada tahun 1945. sehingga saya bisa mengecap pahit manis Flower Generation. Saya bisa menyaksikan bagaimana Jimi Hendrix “bersenggama” dengan gitarnya. Saya juga bisa menyaksikan bagaimana Janis Joplin menyihir pemujanya bagaikan Cleopatra menyihir Julius Caesar. Tapi ternyata saya lahir pada tahun dimana Guns N Roses merilis Appetite For Destruction. Saat ini saya cuma bisa mendengar lagu-lagu mereka yang populer di tahun 70 an. Lalu menyadari dan mengagumi apa yang bisa diperbuat oleh ratusan ribu anak manusia pada saat itu. Menyadari bahwa Generasi Bunga tak akan pernah mati. Semangatnya akan tetap ada di hati anak muda yang kritis dan menginginkan perubahan.

Disinilah saya, tanpa LSD, tanpa ganja, tanpa minuman keras, mendengarkan lagu “San Fransisco” yang ditulis oleh John Phillips dari The Mamas and The Papas yang dinyanyikan oleh Scott Mc Kenzie. Berharap semangat dari flower children merasuk ke dalam jiwa saya…

If you’re going to San Francisco,
be sure to wear some flowers in your hair…
If you come to San Francisco,
Summertime will be a love-in there..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...