[NC11-AM] Belakangan soal plagiat di musik jadi ramai lagi. Kali ini ”korban”nya D’Masiv. Beberapa lagunya dianggap menyontek karya artis lain. Kasarannya, njiplak!
Soal jiplak-menjiplak selama ini mirip kotak Pandora. Sekali dibuka akan menyeret banyak pihak. Misalnya, Kompas (3 Mei 2009) itu. Selain D’Masiv, Radja juga dicap njiplak. Bisa jadi, jika saja halamannya masih bisa menampung, tentu akan banyak karya artis lain yang dianggap layak dipersoalkan keabsahannya.
Mungkin akan dipersoalkan pula intro ”Ada Apa Denganmu” Peterpan yang mirip”Am I Wry? No” milik Mew. Juga terdengar, ”Menikmati Cinta” Maliq & D’Essensials mirip ”I Can’t Help It” (Michael Jackson). Dulu, ada Melly Goeslaw yang dianggap menabrak ”maksimal 8 bar” itu. Malah, ada juga ”Huma di atas Bukit” yang disispi ”Firth of Fifth” (Genesis), dan entah apalagi.
Tapi saya tak tahu apakah ”Given To Fly” (Pearl Jam) itu juga berdosa atas “Going To California” (Led Zeppelin). Begitu pula ”Shadow of The Day” (Linkin Park) dan ”With or Without You” (U2), Cemeteries of London (Coldplay) dan “House of the Rising Sun”, atau The Clap (Yes) yang diulang lagi di Starship Trooper (Yes).
Yang pasti, bersamaan dengan dibukanya kotak Pandora itu, biasanya ada pula aneka gugatan. Artikel Kompas itu, misalnya, mempertanyakan kreativitas si artis. Selain itu, gugatan juga dialamatkan ke industri musik.
Atas gugatan itu, dari pihak ”tergugat” selalu terdengar jawaban yang bisa dibilang jauh lebih santai. Menurut si artis, itu bukan njiplak, tapi sekadar terinspirasi. Sementara pihak industri terkesan tak mau disalahkan. Njiplak atau bukan, itu tanggungjawab si artis. Bukan industri.
Ini menarik.
Pasalnya, selama ini memang tak sedikit pihak yang menawarkan cara pandang lain. Mereka menganggap, di pop, bagian (detil) lagu yang satu dengan lagu lainnya bisa dipertukarkan. Ambil sini, ambil sana dan jreng. Jason Mraz bilang, ”We Sing, We Dance, We Steal Things”. Begitulah pop. Apa boleh buat.
Berangkat dari anggapan ”santai” itu, banyak artis yang lalu lebih memilih soal kelangsungan karya. Maksudnya, mereka lebih khawatir jika mereka mandek ketimbang mempersoalkan njiplak dll. Mereka tak mau jika “hanya” untuk berkarya saja harus repot-repot cari info apakah karyanya itu njiplak atau nggak.
Mereka menganggap diri mereka “sakdremo” berkarya. Selebihnya, urusan pasar. Apalagi, nah ini dia, mereka juga tahu, karya-karya yang dicap njiplak itu biasanya terlanjur ngetop duluan di pasar. Juga, jarang ada pihak yang mau repot-repot menggugat karya yang tak ngetop.
Tapi, bukankah aneka gugatan itu juga bagian dari pasar? Benar sekali. Tapi, seperti yang dibilang Thom Yorke, pasar itu tak homogen. Artinya, digugat di sini, belum tentu di sana pun digugat pula.
Selain tak homogen, pasar juga aktif. Karenanya, cara pandang lain itu kemudian malah, antara lain, mengajak untuk mengamati bagaimana pasar merespon suatu karya. Tak peduli apakah itu diklaim sebagai jiplakan, orisinal atau apa. Pasalnya, ya itu tadi, pasar tak pasif. Mereka punya ”itung-itungan” sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar