Join RevolverNC's empire

Jumat, 11 Maret 2011

Alur Sejarah Perkembangan MUSIK KERONCONG (Bag II)

[NC11-AM] 2.Dari Tugu ke Gunung Kidul …
SELAIN musik keroncong, warga Kampung Portugis di Kelurahan Tugu, tidak merasakan hal khusus yang membedakan mereka dari warga lainnya. Kampung Tugu disebut sebagai tempat lahirnya musik keroncong, tapi tidak ada seorang pun yang tahu persis dari mana istilah musik itu berasal.Banyak versi tentang istilah keroncong. Salah satunya adalah gelang keroncong, yaitu lima hingga sepuluh gelang yang dikenakan di lengan kaum hawa. Jika lengannya berlenggang ketika berjalan, gelang-gelang itu bersentuhan dan menimbulkan suara crong…crong….crong.

Sebutan kroncong, juga dikatakan berasal dari rangakaian gelang yang terdiri dari tiga ukuran yang selain dipergunakan sebagai perhiasan biasa dan perhiasan tari, juga perhiasan kuda yang menarik delman atau andong. Gelang yang kemudian disebut gelang keroncong itu menimbulkan tiga suara sesuai dengan ukurannya: cring…cring…cring (kecil), crung …crung… crung (sedang) dan crong …crong… crong (besar).

Pemeran karakter wayang orang juga mengenakan gelang keroncong, sebagaimana yang bisa terlihat dalam lukisan wayang kulit, di pergelangan tangan dan kakinya. Ada juga teh keroncong, yang disajikan dengan sebuah gelas atau cangkir. Teh yang sudah berada dalam gelas atau cangkir diseduh dengan air panas, lalu diihirup selagi hangat, semakin sedikit air yang tersisa teh menjadi lebih kental dan sepet, semakin nikmat. Teh keroncong ini juga dikenal sebagai teh-tubruk

Kemudian nasi keroncong, yang sekarang kita kenal sebagai nasi liwet, karena cara masaknya yang sama. Atau yang cukup populer, perut keroncongan. Pada tahun 1995 sempat ramai tentang istilah keroncong.

Iklan televisi Gold Star menggunakan kalimat Soundmax, suaranya metal harganya keroncong di harian Kompas, 2 September 1995. Kalimat itu diartikan beberapa pembaca menjadi Suaranya hebat, harganya murah, sehingga mengundang polemik.

Ada yang menyebutkan bahwa kalimat itu kreatif dan mengartinya Soundmax, suaranya keras harganya lembut. Tapi ada lain mengatakan iklan itu menghina musik keroncong sebagai sesuatu yang murah. Namun dengan tangkas, Ricky Subrata, President Director PT Komunika Cergas Ilhami, produsen televisi itu, menangkis dengan suratnya tertanggal 11 September 1995:

“Melalui surat ini kami ingin menjelaskan sekaligus menyelesaikan masalah kesalah-pahaman penafsiran iklan tv Soundmax (GoldStar), sebagai berikut: 1. Kami tidak pernah bermaksud merendahkan musik keroncong. 2. Dialog dalam iklan Soundmax yang berbunyi: “Soundmax… suaranya metal, harganya keroncong”, adalah sebuah analogi yang biasa dipergunakan dalam teknik komunikasi periklanan, agar pesan yang ingin disampaikan dapat dengan cepat menarik perhatian, segar dan mudah diingat. Makna sebenarnya dari dialog tersebut, adalah: Soundmax suaranya dahsyat, harganya lembut dan bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, seperti musik keroncong. 3. Namun, agar kesalah-pahaman ini tidak berlarut-larut dan sekaligus memperlihatkan respek kami terhadap musik keroncong, kami telah mengambil inisiatif mengganti dialog tersebut menjadi: “Soundmax… suaranya metal, harganya bagus, lho…”. Dengan demikian, kesalah-pahaman ini telah selesai.”

Asal-muasal istilah keroncong memang masih terus bergulir. Tapi yang pasti ukulele, gitar kecil yang panjangnya sekitar 65 sentimeter (leher/hals 35 sentimeter, badan/corpus, 30 sentimeter), disebut juga sebagai alat musik keroncong. Jika seorang memainkan alat musik itu, disebut sedang main keroncong. Maksudnya adalah dia sedang memainkan alat musik keroncong. Namun pengertiannya lama-kelamaan menjadi dia memainkan musik keroncong.

Ukulele yang dibawa bangsa Portugis kita sebut juga ,em>cuk, krung atau kencrung. Jika dimainkan, alat musik berdawai 4 ini memang mengeluarkan suara crong….crong….crong. Dugaan kuat bahwa dari suara ukulele inilah sebenarnya lahir istilah keroncong.

Prana Abrahams yang pada tahun 2006 berusia 77 tahun dan Robby Sowakeluwakan, 55 tahun, mengatakan bahwa keroncong lahir karena kebutuhan hiburan warga Kampung Tugu.

Waktu nenek moyangnya pertama bermukim di kawasan Cilincing, belum ada gramafon, radio, apalagi tape atau televisi. Satu-satunya cara bagi warga untuk melepas lelah adalah dengan bertutur cerita sambil memainkan alat musik yang mereka miliki, yaitu ukulele. Gereja pun belum memiliki orgel, jadi kalau ada kebaktian diiringi musik keroncong.

Prana inilah yang mewarisi tradisi turun-temurun membuat ukulele dan menjual kerajinan tangan itu ke toko Thio Tek Hong di Pasar Baru. Sebuah ukulele yang dibuat dari kayu bulat itu harganya Rp 60.000 – Rp 70.000.- (enam puluh ribu – tujuh puluh ribu Rupiah) pada tahun 2005. Dulu dawai ukulele dibuat dari urat kucing Anggora, sekarang menggunakan senar pancing.

Sebelumnya juga dikenal Leonidas Salomon. Laki-laki kelahiran 10 November 1904 itu membuat alat musik keroncong Tugu khusus untuk sebuah yayasan keturunan Portugis Yayasan Putra Tugu yang memperoleh Rp. 1500,- (seribu lima ratus rupiah) pada tahun 1971. Hasil itu pun harus dibagi ke pada pekerja yang membantunya.

Bahan utama alat musik keroncong Tugu buatannya adalah batang pohon kenanga atau waru. Disebut alat musik keroncong Tugu, karena berdawai 5. Menurut Leonidas, kalau berdawai 4 baru disebut ukulele.

Biasanya untuk memperoleh bahan baku alat musik buatannya, Leonidas harus membeli sebuah pohon kenanga atau waru. Setelah ditebang, dipotong dalam bentuk kotak, baru dibentuk badan alat musiknya. Sementara lehernya dibentuk dari potongan kayu yang memanjang.

Seperti juga Prana, Leonidas mula-mula menjual hasil keranjing tangannya itu ke toko Thio Tek Hong dan satu lagi sebuah toko alat musik di Senen. Tapi pada tahin 1971 kedua toko itu tidak lagi menjual alat musik, sehingga Leonidas hanya mengandalkan pesanan, yang tentunya saja jumlahnya sangat sedikit, Bahkan sering berbulan-bulan tidak ada pesanan sama sekali.

Selain membuat ukulele, warga Tugu juga memiliki kebiasaan membuat kue-kue seperti dodol dan kue lapis. Pada masa lalu belum ada penjual kue seperti sekarang, sehingga tiap rumah tangga harus membuat kue sendiri. Kue buatan sendiri itu disuguhkan pada tamu. Kue itu mewakili tingkat citra rasa pembuatnya, mewakili semacam prestise marga.

Lagu keroncong Portugis pertama-tama yang juga cukup populer adalah Prounga khusus untuk penyanyi solo sesuai dengan artinya tunggal. Lagu ini sangat disenangi penduduk Kampung Bandan, hingga menyebutnya Krontjong Bandan

Kampung Bandan yang sekarang terletak di Kecamatan Pademangan, Tanjung Priok Jakarta Utara, adalah tempat permukiman yang berpenduduk padat dan lingkungannya kumuh. Kampung Bandan dalam sejarahnya juga merupakan lokasi penampungan budak-budak dari pulau Banda, Maluku pada jaman pemerintah penjajah Belanda. Tahun 1621, Gubernur Jenderal J P Coen menaklukkan Pulau Banda, tawanannya berupa budak-budak dibawa ke Batavia dan ditempatkan di Kampung Brandan. Perlakukan budak-budak di sini lebih keras dibanding di Tugu.

Sampai tahun 1633, budak-budak itu masih dirantai. Tahun 1682 mereka mencoba memberontak melawan VOC di Marunda. Namun, apalah artinya pemberontakan mereka melawan VOC yang saat itu sudah mempunyai persenjataan lengkap. Konsekuensi dari pemberontakan yang gagal itu, sebagian budak Kampung Bandan dikirim ke Srilangka yang juga menjadi daerah kekuasaan Belanda.

Waktu itu Pelabuhan Pasar Ikan merupakan pusat perdagangan yang sangat ramai. Di sanalah budak-budak dari Kampung Bandan dipekerjakan. Seiring dengan perkembangan perdagangan di Batavia, pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan baru di Tanjung Priok. Untuk menghubungkan kedua pelabuhan yang berjarak sekitar delapan kilometer itu, Belanda membangun rel kereta api, lengkap dengan stasiunnya di Kampung Bandan, yang sekarang menjadi stasiun kereta-api Tanjung Priok.

Sementara itu di Kampung Tugu kalangan generasi yang berusaha melestarikan musik keroncong sampai dengan tahun 2006 tetap masih ada. Antara lain, Samuel Quiko yang berusia 67 tahun, dia mendirikan grup musik keroncong Cafrinho Tugu, yang sebelumnya dijalankan oleh kakaknya, Yakobus Quiko. Kelompok Cafrinho Tugu maupun Krontjong Toegoe tidak hanya melakukan pementasan di tanah air, bahkan telah beberapa kali mewakili delegasi kesenian Betawi DKI Jakarta di Tong Tong Fair, Den Haag, negeri Belanda.

Dibanding Krontjong Toegoe yang mengutamakan pemain dari kalangan orang Kampung Tugu keturunan Portugis, Cafrinho Tugu lebih terbuka bagi orang luar sehingga anggotanya pun jauh lebih banyak, yang hinggabtahun 2005 berjumlah sekitar 40 orang yang terdiri dari pemusik dan pengurus.

Manajemen Cafrinho juga menganut cara modern. Mereka memiliki beberapa kelompok, sehingga kalau ada yang mengundang bermain pada saat bersamaan bisa terlayani. Tapi usaha mereka untuk untuk bertahan hidup memang tidak mudah kali. Kalau pun menerima sebuah order, bisa jadi harus bermain untuk amal, bukan komersial. Kalau pun komersial, bayaran yang diminta harus realistis. Bisa dalam arti murah atau sekedarnya.

Sebelum proklamasi kemerdekaan setiap 31 Agustus, warga Tugu masa lalu menyelenggarakan pesta untuk merayakan ulang tahun ratu Belanda waktu itu, Wilhelmina. Mereka mengadakan pertandingan ketepatan menembak di lapangan terbuka. Hampir setiap kegiatan itu, mereka menyajikan musik keroncong sebagai hiburan dan dikunjungi warga sekitar termasuk warga Kemayoran. Dari berbagai kegiatan itu dapat dipastikan keroncong merambah ke kawasan lain, antara lain menjadi asal-usul munculnya keroncong di Kemayoran.

Keroncong Tugu memang menjadi inspirasi lahirnya lagu Krontjong Kemajoran sekitar tahun 1918 – 1919 yang konon diciptakan seorang keturunan Indo Belanda, tapi namanya tidak diketahui hingga sampai sekarang initial penciptanya ditulis N.N. Sinyo-sinyo Belanda pada masa itu mencoba memasukkan unsur jazz, yang menghasilkan keroncong dengan bunyi crong… crong…crong yang lebih improvisatif dan menambah variasi akord.

Dari Tugu pula keroncong terus merambah ke berbagai daerah di tanah air. A.TH. Manusama menyebutkan bahwa lagu-lagu Nina Bobok, Terang Bulan, O Ina Ni Keke, Kole Kole, Rasa Sajang Kene, Rasa Sajange, Burung Kakatua, Patokaan, Hoe Tjintjin, Ajun Ajun adalah lagu-lagu kroncong populer lainnya pada masa itu. Menilik judul lagu-lagu itu, berasal dari luar pulau Jawa seperti Sulawesi Utara dan Maluku.
Sementara dari Padang, Sumatra Barat, muncul lagu Pulau Pandan gubahan S.M. Mochtar, pianis orkes studio Nirom di Surabaya. Lagu ini di Sumatera terkenal sebagai lagu komidi stambul, yang berkeliling Indonesia tahun 1900-an, mengiringi adegan-adegan cerita yang menguras air mata. Cengkok, gregel, dan embatnya mengesankan gaya lagu Melayu. Pada masa inilah perkembangan keroncong melahirkan lagu jenis stambul.

Pada tahun 1920-an, musik kroncong terbatas dan hanya beraksi di lorong-lorong kampung dalam acara khitanan dan perkawinan. Baru pada tahun 1930-an ruang gerak kroncong lebih leluasa, hingga bisa tampil di jaarmarket (pasar malam) di Surabaya. Kemudian di Pasar Gambir, Jakarta, yang menyelenggarakan krontjong concours(festival keroncong).

Pasar Gambir memang dikenal sebagai penyelenggar krontjong concour, perlombaan atau sekarang populer dengan istilah festival, setiap tahun untuk melahirkan juara keroncong dari pulau Jawa. Resminya kejuaraan itu dinamai Krontjong Vaandel Concours. Digunakan kata vaandel, karena grup keroncong yang menjadi peserta harus membawa vaandel yang terbuat dari kain bludru hitam dan tulisan nama grupnya berwarna emas, misalnya Lief Java.

Karena waktu itu belum ada mikropon, seorang penyanyi harus memiliki suara yang lantang supaya bisa terdengar oleh para juri dan penonton. Penyanyi-penyanyi yang setiap tahun bertarung di Pasar Gambir antara lain adalah Van der Mull,Leo Spell, Louis Koch, Bram Atjeh, Paulus Hitam, Pung, Waha, S. Abdullah, Amat, Sulami, Miss Tuminah, Djajadi, Sumarno, Missi Moor, Siti Hapsah, John Isegar dan lain-lain.

Pada suatu ketika, Samidjo dari Bandung yang sama sekali belum dikenal memimpin orkes keroncongnya membawakan lagu-lagu dari film musik berdurasi 76 menit berjudul Pagan Love Song, yang diproduksi tahun 1950 dan dibintangi Esther Williams, Howard Keel. Film ini disutradarai Robert Alton.

Hebatnya Samidjo dan orkesnya berhasil menjadi juara pertama. Komunitas musik keroncong waktu itu mengatakan kemenangan itu bukan karena kualitas orkes dan penyanyinya, melainkan disebabkan lagu-lagu yang dibawakan lain daripada yang lain dan yang pasti, enak didengar atau menurut istilah sekarang, ngepop.
Meskipun kemudian langkah Samidjo itu diikuti orkes-orkes keroncong lainnya dengan membawakan lagu-lagu dari film Hollywood, bagi dunia musik keroncong waktu itu dianggap sebuah kemunduran. Yang pasti Pasar Gambir tetap dikenang sebagai wadah yang banyak melahirkan penyanyi dan orkes keroncong handal pada masa itu.

Tidak sedikit penyanyi-penyanyi pernah beraksi di Pasar Gambir, kemudian masuk studio rekaman perusahaan piringan hitam His Master Voice, Odeon, Beka, Columbia, Philips dan Kenari merekam lagu-lagu keroncong Indonesia dalam bentuk piringan hitam.

Setelah dipiringhitamkan, populerlah sejumlah lagu seperti: Taman Bunga Melati, Tjintanja Satu Ibu, Fadjar Blues, Tjuatja Terang Rumba, Nasib Besar, Sorha Dunia, Saja dan Kawan, Djudi Tjelaka, Laste Stambul, Tandjung Kandis, Oh, Ibu, Tjinta Menangkan Harta, Penghidupan dan Njanjian, Kopi Susu, Kerontjong Air Laut, Si Djantung Hati, Djalan Ke Titi Gantung, Oh Permata Yang Indah, Ratapannja Satu Isteri, Terang Rumba, Kerontjong Matahari, Kerontjong Terang Bulan di Pesisir, Stambil The Rail dan Kerontjong Balero.

Pada masa ini populer penyanyi tangguh keroncong seperti S. Abdullah, Miss Ellis, Miss Tuminah, Miss Jacoba, Miss Sopia dan lain-lainnya. Penyanyi perempuan memang ditambah kata miss di depan namanya. Sementara istilah buaja-krontjong, diberikan ke pada penyanyi pria.

Buaja-buaja-krontjong yang terkenal antara lain adalah Kusbini asal Yogyakarta yang dinobatkan di Surabaya dan Tan Tjeng Bok di Jakarta. Selain penyanyi, Tan Tjeng Bok juga dikenal sebagai pemain sandiwara. Sementara dari Solo, sampai sekarang masih ada yang merasa sebagai buaja-krontjong. Mereka adalah Anton Danu Saputro yang dalam usianya yang 74 masih memimpin grup musiknya, Orkes Keroncong Asli Sahabat yang beranggota 18 pemusik, manggung di Pendopo Taman Budaya Surakarta, 14 September 2004. Satu lagi Proto R dengan orkes keroncongnya OK Pusaka Bintang.

Dalam inovasi pemusik keroncong Solo memang lebih unggul. Sekitar tahun 1940 – 1950, penggunaan cello mengimitasikan suara kendangan atau contrabas untuk suara gong masih merupakan hal yang asing bagi pemusik keroncong di Jakarta, yang waktu itu sebuah orkes cendrung menggunakan banyak gitar dan memainkannya dengan cara mengocok atau meroffel. Bahkan ada yang menghadirkan 10 orang pemain gitar, sehingga di atas panggung kelihatan begitu gagah.

Perkembangan musik keroncong di Solo sudah berlangsung sejak tahun 1930-an. Muncul orkes-orkes keroncong besar dan kecil. Orkes keroncong besar waktu itu antara lain adalah Monte Carlo dan Kembang Kacang, di mana Gesang mengembangkan dirinya sebagai penyanyi dengan suara yang khas, karena dianggap memiliki ciri sendiri dibanding penyanyi keroncong lainnya. Tahun 1950-an populer langgam Jawa oleh Orkes Keroncong Irama Langgam dan Orkes Keroncong Bintang Soerakarta.

Seni musik Indonesia yang bersistim pentatonik (sistim timur) seperti gamelan salendro dan pelog serta diatonis (sistim barat), menjadi dasar utama perkembangan musk keroncong. Cara menyanyikan lagu kroncong berciri khas dengan cengkok, greget dan embat, yang mengesankan nyanyian (tembang) dengan iringan khas slendro / pelog, bergaya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Bali.

Ciri khas keroncong asli selain bentuk, gayanya terpengaruh permainan gendang dalam gamelan, juga kotekan dan gedugan dari musik para petani ketika mengetam padi atau permainan kotekan peronda malam di desa, dengan tong-tong yang dibuat dari seruas bambu.

Sementara itu pada tahun 1960, Brigadir Jenderal Pirngadi, pimpinan orkes kroncong Tetap Segar, memodernisasi berbagai jenis lagu kroncong yang kemudian disebut keroncong beat. Orkes yang pada kenyataannya membuat keroncong tetap segar ini merekam berbagai jenis lagu dalam piringan hitam dan kaset. Orkes keroncong Tetap Segar dalam usahanya mempopulerkan di dalam dan luar negeri juga melakukan penampilan di berbagai negara.

Keroncong beat bisa dikatakan terasa hanya pada orkes yang digunakan untuk mengiringi lagu. Lagu yang bukan keroncong pun bisa dikeroncongkan. Jadi musiknya kroncong, tapi lagunya bisa dari mana saja, termasuk lagu-lagu pop barat. Kroncong beat disukai para pemusik, karena mudah memainkannya dan yang paling penting sangat digemari masyarakat. Orkes keroncong Tetap Segar termasuk berani dan yang paling penting, keroncong beatnya dianggap sebagai inovasi yang positif bagi perkembangan musik keroncong.

IKI driji apa dengkul…?, adalah sepotong syair dari lagu Jawa yang diciptakan dan dibawakan oleh Manthuos, yang sedang sangat populer akhir tahun 1996 dan awal 1997. Sangat digemari pecinta lagu-lagu langgam di tanah air.

Lagu itu menceritakan kisah asmara sepasang anak manusia, tetapi potongan syair itu memiliki nuansa makna berganda.

Karena bisa juga menggambarkan betapa manusia meninggalkan nuraninya, tak perduli, sehinga tidak bisa membedakan lagi mana jari atau lutut. Driji di dalam potongan syair itu berarti jari, sedang dengkul adalah lutut.

Manthous bersama Grup Campursari Maju Lancar Gunungkidul waktu itu menjadi kiblat para pencinta lagu-lagu langgam Jawa. Musik garapannya tidak sekedar memadukan musik tradisi Jawa, gamelan, dengan alat musik diatonis gitar, keyboard, dia membuat padanan nada dengan skala diatonis, dengan cara menyetel seluruh gamelan.

Garapannya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada suasana rock, reggae, gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut Manggung, atau Bowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keybord dan gitar bas.

Bersama grup musik yang berdiri tahun 1993 dan beranggotakan saudara atau rekan sedaerah di Playen, Gunungkidul, Yogyakarta itu, Manthous menyelesaikan sejumlah volume rekaman di Semarang. Omzet penjualan mencapai 50.000 kaset setiap volume, tertinggi dibanding kaset langgam atau keroncong umumnya pada tahun-tahun pertengahan 1990-an.

Di samping menyanyi sendiri dalam kegiatan rekaman itu Manthuos juga menampilkan suara penyanyi Sulasmi dari Sragen, Minul dari Gunungkidul, dan Sunyahni dari Karanganyar. Beberapa lagunya yang populer di antaranya Anting-anting, Nyidamsari, Gandrung, dan Kutut Manggung.

Gunungkidul khususnya Desa Playen yang tandus terkait dengan dua orang ternama. Playen adalah tempat H Budiharjo bersama pasukannya mengumandangkan kemerdekaan Indonesia lewat pemancar radio. Yang kedua, Playen adalah tempat kelahiran Manthous.

Tetapi orang-orang di Playen hanya tahu bahwa Manthous adalah pemain Campursari Gunungkidul. Tidak ada orang Gunungkidul yang menyangka bahwa syair gethuk asale saka tela yang tiap hari mereka dengar dan nyanyikan berasal dari sebuah lagu karya Manthous.

Tahun 1966 ketika berumur 16 tahun, Manthous memberanikan diri ke Jakarta. Pilihan utamanya adalah hidup ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya. Tapi tahun 1969 dia sudah bergabung dengan orkes keroncong Bintang Jakarta pimpin oleh Budiman BJ.

Tahun 1976 Manthous yang piawai bermain bas mendirikan grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama Bieb anak Benyamin S, yang bertahan sampai tahun 1980. Kemudian Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin S. bahkan sebelumnya pernah menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya.

Inilah yang membuat Manthous menguasai aliran musik apa pun. Bahkan dalam khazanah dangdut dia mampu mencipta trik-trik permainan bas, yang ditiru oleh musisi dangdut sekarang.

Setelah itu dia kembali ke Gunungkidul Dari sanalah dia mengurus royalti atau honor lagu-lagunya. Urusan dengan Jakarta cukup lewat telepon. Pengalaman di Jakarta yang menghabiskan lebih dari separuh usianya, menyebabkan Manthous punya posisi kuat dalam tawar-menawar.

Semua itu antara lain berkat petuah Bing Slamet, yang pernah berpesan ke padanya, kerja dulu duwit akan datang sendiri. Disamping, tentunya, keuletannya untuk terus belajar serta berinovasi dalam mengembangkan berbagai macam musik dengan keroncong, dasar musiknya yang mula-mula.
<<<Back                                                                                                                               Lanjutkan>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...