Join RevolverNC's empire

Jumat, 11 Maret 2011

Biografi Nicky Astria (Bag 2)

[NC11-AM] LADY ROCKER YANG MELEJIT
Nicky Astria

Nicky baru berusia 14 tahun dan duduk di kelas 3 SMP Negeri 13, Bandung, ketika ayahnya dipanggil Tuhan, Juli 1981. Ayahnya berpulang setelah hampir setengah tahun dirawat di rumah sakit akibat komplikasi berbagai penyakit, mulai dari lever, darah tinggi, hingga tifus. Saat mendengar berita duka itu, Nicky baru saja pulang sekolah, dan langsung pingsan berkali-kali. Setiap kali siuman dan mendapati ayahnya terbujur beku dalam balutan kafan, Nicky tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia pingsan lagi saat menyaksikan jasad ayah tercintanya dimasukkan ke liang lahat.

TANGIS SEORANG AYAH

Sebagai anak yang paling dekat dan paling disayang, bagi Nicky kepergian ayahnya merupakan pukulan batin yang sangat berat dan menyayat. Padahal, malam sebelumnya ia baru diajak bicara ‘serius’ oleh ayahnya. Pembicaraan itulah yang kemudian menjadi tonggak penting dalam sejarah hidup Nicky selanjutnya. 

Malam itu, Nicky kembali menengok ayahnya di ruang ICU. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih. Saat itu, Nicky baru saja pulang dari menyanyi sebagai bintang tamu di sebuah acara di IKIP Negeri Bandung. Nicky menyanyikan lagu Ahmad Albar berjudul Balada Sejuta Wajah. “Saat itulah untuk pertama kalinya saya mendapat honor dari menyanyi. Jumlahnya hanya Rp25.000, tapi saya sangat senang dan bangga,” kenang Nicky, bersemangat. 

Dengan wajah sumringah, Nicky menemui ibunya yang tengah duduk di teras ruang ICU. “Mam, saya baru saja menyanyi dan mendapat honor. Tolong uangnya Mami pegang untuk tambahan beli obat Daddy, ya.” Selanjutnya, Nicky menemui ayahnya di ruang ICU dan memberitahukan hal yang sama. 

“Kamu menyanyi di mana?” tanya sang ayah.

“Di IKIP, Dad. Saya dapat honor 25 ribu, sudah saya serahkan ke Mami untuk beli obat Daddy,” jawab Nicky, bersemangat.

Kali ini ayahnya tidak menjawab. Sejenak suasana menjadi sangat hening dan tiba-tiba saja sang ayah membalikkan wajahnya membelakangi Nicky. Ternyata, diam-diam ia meneteskan air mata. 

“Dad, kenapa menangis?” tanya Nicky dengan polos, sembari memegang tangan ayahnya. Suasana kian haru ketika Nicky yang pada dasarnya cengeng ikutan menangis. “Saya paling tidak tahan melihat orang menangis. Orang lain yang menangis saja, saya bisa ikut menangis, apalagi Daddy,” kenang Nicky. 

Nicky tidak tahu, apakah ayahnya menangis karena bahagia atau sedih. Tapi, setelah itu sang ayah berusaha mencairkan suasana. Sambil tersenyum, ia bertanya kepada putrinya, “Kamu ingin menjadi penyanyi, ya?”

“Tidak, Dad. Saya tidak mau jadi penyanyi,” jawab Nicky spontan. Anehnya, sang ayah yang selama ini tidak pernah mengizinkan putrinya jadi penyanyi, kali itu justru mengatakan, “Tidak apa-apa. Daddy tidak keberatan kamu menyanyi.” Karena Nicky hanya terdiam, ayahnya melanjutkan, “Kamu boleh menjadi penyanyi. Tapi, kamu harus bisa menjaga nama baik keluarga.”

Bagi Nicky, ucapan ayahnya itu terdengar sangat menyejukkan, meski tetap tidak menggoyahkan hatinya. Sekalipun ayahnya kini sudah memberi izin, ia tetap tidak ingin menjadi penyanyi beneran. Sebagai anak-anak dan remaja, ia memang merasa bangga menerima berbagai penghargaan untuk bakat menyanyinya. Tapi, sejauh itu Nicky tidak kepikiran memanfaatkan peluang itu untuk menjadi penyanyi profesional. Ia hanya ingin hobi menyanyinya mengalir begitu saja, tanpa ambisi, apalagi target tertentu. 

Kematian ayahnya bahkan makin menenggelamkan keinginan Nicky menjadi penyanyi. “Saya tidak pernah ngotot menjadi penyanyi. Saya hanya menjalaninya, dan akhirnya semua mengalir begitu saja sampai sekarang,” tutur Nicky. 

JATUH MISKIN
Sejak kecil, Nicky dan saudara-saudaranya dididik dalam hal agama dengan cukup baik, termasuk salat maupun mengaji. “Papa suka mengundang guru mengaji ke rumah atau menyuruh kami mengaji ke masjid,” kata Dicky. “Dulu, di antara kami berlima, Nicky-lah yang paling taat beribadah. Dia sangat rajin mengikuti pesantren kilat di berbagai kota, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan sampai ke Jawa Timur.”

Nicky maupun Dicky menilai, ayahnya cukup moderat dan demokratis dalam mendidik mereka. Meski selama hidupnya sangat religius, sang ayah tidak langsung memarahi bila ada anaknya yang ketahuan melakukan sesuatu yang dilarang agama. Ayahnya maklum bahwa anak-anak muda saat itu banyak yang merokok dan minum minuman keras. 

“Kalau ada di antara kalian yang ingin merokok atau minum alkohol, silakan, nanti Papa temani,” demikian ayahnya selalu berkata kepada semua anaknya. “Tapi, jangan sekali-kali men–curi-curi minum di belakang Papa. Pokoknya, lakukan apa yang ingin kalian lakukan, tapi harus bertanggung jawab dan jangan sembunyi-sembunyi. Ibarat team work, bilang saja apa pun yang ingin kalian katakan. Nanti bisa kita diskusikan bersama-sama.” 

Ia juga membebaskan anak-anaknya memilih sekolah apa saja yang mereka inginkan. Ia hanya berpesan, “Kalau ingin hidup sukses, sekolah yang benar dan rajin belajar. Kalau kalian tidak ingin sekolah yang tinggi, tapi tetap ingin meraih sukses, tekuni satu bidang yang memungkinkan kalian meraih prestasi yang setinggi-tingginya. Misalnya, kalau ingin menjadi petenis, jadilah petenis yang hebat, kalau perlu jadi juara nasional atau juara dunia.”

Anehnya, Nicky dan saudara-saudaranya tidak pernah mem–pertanyakan kenapa mereka selalu dilarang menjadi pemusik atau penyanyi. Karena itu, Nicky pun tidak tahu kenapa tiba-tiba ayahnya mengizinkannya menjadi penyanyi. Apakah karena tidak tega, ataukah karena ia akhirnya menyadari bahwa bakat putrinya memang tidak main-main. Pada perjalanan selanjutnya, memang terbukti betapa besar peran Nicky sebagai penyanyi dalam membantu perekonomian keluarganya sepeninggal sang ayah.

Saat Tatang Kosasih meninggal, Dicky baru duduk di tingkat tiga Fakultas Ekonomi Universitas Pajajaran, sementara Nicky belum lulus SMP. Sejak Tatang sakit-sakitan dan akhirnya meninggal, keadaan ekonomi keluarga kian morat-marit. Karena tidak mem–punyai tabungan atau deposito, sedangkan pensiun Tatang hanya pas-pasan, mereka terpaksa menjual barang-barang yang ada di rumah untuk makan dan mencukupi kebutuhan rumah tangga. Setelah menjual mobil, satu demi satu alat musik dan peralatan rumah tangga ikut dijual, sampai akhirnya nyaris habis. Terakhir, rumah mereka yang besar di daerah yang cukup ramai di Bandung itu juga dijual. “Hidup kami benar-benar carut-marut dan mem–prihatinkan sekali,” kenang Dicky, pahit.

Sebagai anak tertua, sepeninggal ayahnya, Dicky pun harus mencari biaya kuliah sendiri. Berbagai cara ia lakukan untuk mencari uang. Selain ngamen dari hotel ke hotel, ia juga pernah menjual baju-baju impor, menjadi kontraktor, dan menjadi sub-agen produk mesin jahit impor. “Alhamdulillah, saya akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah,” ujar Dicky, yang kini menjabat sebagai executive director di Mega Kuningan International Town Park, Jakarta. 

Sepeninggal ayahnya, Nicky tinggal di rumah neneknya, Romlah, bersama bibinya, Metty. Adik ibunya inilah yang kemudian banyak mewarnai hidup Nicky saat duduk di SMA, terutama dalam hal membimbing etika dan ber-make-up. “Karena semuanya tahu bahwa saya sangat dekat dengan Daddy, mereka sangat menjaga perasaan saya, sehingga saya tidak merasa sendirian,” kenang Nicky.

Keadaan ekonomi keluarga yang kian terpuruk mengharuskan Nicky memanfaatkan bakat menyanyinya untuk ikut memperbaiki kehidupan keluarganya. Dari yang semula hanya iseng-iseng, kini ia harus serius menekuninya. Selain terus menyanyi dari panggung ke panggung, Nicky juga terus didorong oleh Bucky, kakaknya, untuk bisa masuk dapur rekaman. Saat itu Bucky menjadi pembantu lepas majalah Vista yang cukup terkenal. Bucky kemudian menghubungi Denny Sabri, teman dekatnya, yang juga seorang pencari bakat. 

Denny pun menganjurkan agar Nicky membuat rekaman lagu rock. “Saat ini rocker wanita sangat sedikit,” kata Denny. Yang tercatat hanya Euis Darliah, Renny Jayusman, dan Sylvia Sarche. Ketika Bucky menyampaikan saran itu kepada adiknya, Nicky sempat sangsi dirinya mampu menyanyikan lagu-lagu rock, karena selama itu tidak pernah mencobanya. Sampai suatu hari, Nicky diminta menyanyi bersama grup band Ronners, asuhan Denny Sabri, dalam acara Rally Rock Jakarta-Bandung di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Itulah pertama kali Nicky menyanyikan lagu rock dengan iringan band rock di atas panggung dan disaksikan banyak penonton. 

Rupanya, penampilan ngerock Nicky yang pertama ini menjadi tonggak sejarah kariernya dalam kancah musik di tanah air. Meski agak gamang dan grogi, tanpa ia sadari penampilan pertamanya itu ternyata memikat banyak pengunjung, di antaranya adalah drummer Jelly Tobing dan pengusaha rekaman AMK Record, Nugroho. 

LADY ROCKER BARU TELAH LAHIR
Bak sebuah bidak catur, Nicky hanya melakoni saja langkah demi langkah yang dikehendaki oleh sang pemain catur. Saat Bucky mengabarkan bahwa ia akan dikontrak rekaman lagu pop rock, lagi-lagi ia hanya melakoninya sebaik mungkin. Ia menyadari, musik ini sangat ‘jantan’ dan dikenal sebagai musiknya laki-laki. Tidak seperti umumnya para calon bintang yang kegirangan mendapat kesempatan rekaman, Nicky justru menanggapinya dengan biasa-biasa saja. 

Ternyata, esok harinya, Nicky langsung diminta menandatangani kontrak rekaman oleh Nugroho, tepatnya pada pertengahan 1984. Saat itu usianya masih 17 tahun. Agar lebih komersial, nama Nicky Nastiti Karya Dewi diubah menjadi Nicky Astria, yang artinya dewi keberuntungan. Album pertama itu berjudul Semua dari Cinta karya Tarida Hutauruk, dan musiknya digarap Jelly Tobing. Di sinilah untuk pertama kalinya ia mengenal langsung orang-orang musik yang dikenal sangat atraktif, antara lain Ian Antono, Titiek Hamzah, dan Dodo Zakaria.

Album perdananya itu memang belum berhasil mengagetkan pasar musik Nusantara. Lagi-lagi Nicky menanggapinya dengan biasa-biasa saja, tak ada kekecewaan sedikit pun. Namun, tampaknya dewi keberuntungan memang tidak ingin jauh-jauh dari diri wanita berbintang Libra ini. Diam-diam ia dilirik oleh perusahaan rekaman lain yang cukup ternama, yaitu Billboard. Memang mengejutkan, karena sebelumnya perusahaan rekaman ini dikenal hanya merekam lagu-lagu asing. “Saya penyanyi Indonesia pertama yang dikontrak perusahaan ini,” papar Nicky, tanpa maksud menyombongkan diri. 

Ia pun kembali masuk dapur rekaman, dan lahirlah album Jarum Neraka (1985). Di luar dugaan, album ini meledak, sesuatu yang sangat langka pada pasar lagu-lagu jenis pop rock. Album ini akhirnya berhasil meraih angka penjualan tertinggi dan melambungkan nama Nicky ke jajaran penyanyi pop rock kelas atas.

Kata orang, Nicky memang muncul di saat yang tepat. Euis Darliah meninggalkan tanah air dan menetap di luar negeri, sementara pamor Renny Jayusman dan Sylvia Sarche sudah mulai memudar. Karena itu, pasar musik rock yang tengah lapar itu pun melahap album Nicky. Kebetulan lagu-lagu yang disuguhkan pun memenuhi selera penikmat musik di tanah air. Selanjutnya, Nicky seakan melenggang sendirian sebagai lady rocker. Selain berparas jelita, suaranya pun prima dan penampilannya energik. Tak heran bila nama mojang Bandung ini melesat tak terkendali menuju puncak. 

Meski awalnya setengah hati, tanpa disadari, Nicky mulai menemukan kenikmatan dan keasyikan tersendiri saat menyanyi di atas panggung. Selain namanya kerap dielu-elukan penonton, penggemarnya pun mulai menjamur. Puluhan surat datang ke alamat rumahnya setiap hari. Hal yang bisa membuat siapa pun ‘mabuk’. Untunglah, sejak awal Bucky sudah mengingatkan, “Kalau kamu larut dalam gemerlapnya keartisan, pada saat jatuh kamu akan mengalami post power syndrome. Karena itu, kamu harus terus membiasakan diri menjadi orang biasa. Di atas panggung, kamu boleh bersikap sebagai artis. Di luar itu, bersikaplah yang wajar. Ini Indonesia, bukan Amerika!”

Pesan kakaknya ini sangat dipegang oleh Nicky. “Lagi pula, kalau saya harus terus-menerus bersikap sebagai artis, rasanya terlalu berat dan bisa-bisa saya stres sepanjang waktu. Saya tak keberatan bila harus pergi naik angkot atau bus, atau harus mengantre tiket di stasiun atau bandara. Saya masih bisa, kok, menyeberang naik jembatan penyeberangan. Saya bahkan pernah naik ojek bersama suami (pertama) saat pulang nonton sepak bola di Gelora Bung Karno, Senayan. Tidak ada masalah!” 

MENYANYI SESUAI MOOD
Lagu Jarum Neraka dan Tangan Setan (keduanya ciptaan Ian Antono dan Areng Widodo) berhasil merajai pasar kaset tahun 1985 –1986. Selain berhasil meraup banyak keuntungan, Nicky pun berhasil meraih berbagai penghargaan. Sejak tahun 1985 hingga 1987, setiap tahun Nicky menyabet BASF Award sebagai Penyanyi Rock Wanita Terbaik. Dari album itu, ia juga berhasil meraih AMI Award. Dari dua albumnya yang dibuat pada tahun 1995 dan 1998, Nicky juga berhasil meraih predikat Penampilan Video Terbaik dan Penyanyi Terpopuler versi majalah musik Populer. Gelar Penyanyi Rock Wanita Terbaik juga diberikan oleh pembaca majalah Gadis selama lima kali berturut-turut (1986-1991). 

Tak heran, jadwal manggung-nya tiba-tiba menjadi sangat padat. Ia sudah naik panggung di hampir seluruh kota besar Nusantara. Berbeda dari kebanyakan artis yang sering memanfaatkan masa-masa kejayaan mereka dengan menerima job manggung sebanyak-banyaknya, Nicky justru akan menolak apabila dalam sehari ia harus tampil di tiga-empat tempat sekaligus. “Jujur saja, saya sangat bergantung pada mood kalau mau tampil,” tuturnya. “Biar dibayar sebanyak apa pun, kalau saya tidak mau, ya, tidak mau. Selain itu, dari dulu saya selalu pilih-pilih acara. Saya tidak peduli kalau saya lantas dianggap tidak profesional.” 

Selain itu, Nicky juga tidak mau tampil mengisi acara tahun baru, atau, lebih-lebih, menyambut Lebaran. Padahal, bagi sebagian besar artis, acara tahun baru merupakan panen rezeki. “Saya tidak mau acara bersama teman-teman dan keluarga terganggu. Saya memang pernah sekali-dua kali tampil mengisi acara tahun baru, tapi saya justru sangat tidak enjoy. Mungkin, saya dianggap aneh, tapi itulah saya. Saya tidak mau terlalu ngoyo. Tanpa ngoyo pun penghasilan saya sudah lebih dari cukup,” katanya, santai.

Pada awal kariernya, semua kegiatan Nicky diatur oleh kakaknya, Bucky, bersama ibunya. Selain mengatur jadwal rekaman dan manggung, merekalah yang membelanjakan semua keperluan Nicky, baik baju untuk show maupun alat make-up-nya. “Ke mana pun, saya tidak boleh pergi sendirian, harus ditemani salah satu dari mereka,” ujar Nicky, tertawa. Ia baru diizinkan pergi dan mengangkat manajer sendiri saat usianya memasuki 22 tahun. Ia mengangkat Liesda, sahabatnya saat di Bandung, untuk menjadi manajernya. “Tapi, harus dicoba dulu sebulan. Kalau saya dianggap sudah bisa jaga diri, barulah mereka bisa benar-benar melepas saya,” tambahnya. 

Ketika masih menetap di Bandung, Nicky memang tidak betah lama-lama tinggal di Jakarta. Karena itu, “Alhamdulillah, sejak dulu saya memang tidak suka bergaul dengan orang yang aneh-aneh. Meski dikenal sebagai rocker yang sering dianggap liar, saya tidak suka merokok, apalagi minum minuman keras atau obat-obatan terlarang,” tegasnya. 

Menurut Nicky, keputusannya untuk tidak merokok dan minum minuman keras bukan semata untuk menjaga kesehatan, ‘sok suci’, atau takut pada keluarganya. Apalagi, ayahnya termasuk perokok berat dan semua saudara laki-lakinya juga merokok. 

“Alasan sebenarnya, tubuh saya memang tidak bisa ‘bekerja sama’ dengan asap rokok dan alkohol. Saya pernah ikut-ikutan merokok bersama teman, tapi setelah itu bengek (asma, Red) saya langsung kambuh. Saya juga pernah mencicipi minuman keras, karena hampir semua manajer dan teman-teman saya minum. Tapi, baru seteguk saja, wajah saya langsung memerah seperti mau pecah. Tubuh saya betul-betul tidak bisa menikmati itu semua, termasuk obat-obatan terlarang. Alhamdulillah, rupanya Allah melindungi saya dengan cara-Nya sendiri….” 
<<<Back                                                                                                                                   Lanjutkan>>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...