Join RevolverNC's empire

Jumat, 11 Maret 2011

Biografi Nicky Astria (Bag 3)

[NC11-AM] PERKAWINAN PENUH KERIKIL
Cover Album “Tangan-tangan Setan”
Setelah setahun menjadi penyanyi profesional, meski namanya belum terlalu ngetop, Nicky lulus SMA. Kakaknya, Dicky, menyuruhnya kuliah. Sayangnya, ia tak diterima di perguruan tinggi negeri, sehingga Dicky mendaftarkan adiknya di ABA (Akademi Bahasa Asing) Bandung, jurusan bahasa Inggris. “Yang paling ngotot agar saya kuliah memang Kang Dicky. Dialah yang sibuk mengurus surat-surat dan mendaftarkan saya, sementara saya hanya santai-santai saja di rumah,” ujar Nicky, tertawa.
Tapi, belum setahun kuliah, Nicky harus menghadapi kesibukan lain. Tak lama setelah mendapat penghargaan BASF Award, ia berangkat ke Jerman. Akibatnya, kuliahnya pun kandas di tengah jalan. Tak putus asa, Dicky kembali mendaftarkan adiknya ke kursus jangka pendek di Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika.


TIGA KEANEHAN NICKY

Dari hari ke hari, kesibukan Nicky pun makin padat, termasuk jadwal manggung-nya. Nicky mengaku, semua itu dibiarkannya saja mengalir begitu saja, tanpa harus didorong atau direm “Sejak dulu saya memang tidak pernah mikirin apakah saya ngetop atau tidak. Yang penting, saya berbuat maksimal,” ucap Nicky. 

Memang agak sulit dimengerti, bagaimana seseorang yang berhasil mencapai puncak prestasi seperti Nicky, mengaku tidak pernah bekerja keras untuk menggapai prestasi itu. Tetty Kadi, penyanyi tahun 1970-an yang juga berasal dari Bandung, menyentil dan sekaligus memuji kehebatan yuniornya itu. Pelantun lagu Sepanjang Jalan Kenangan itu menyebut tentang Tiga Keanehan Nicky Astria di sebuah tabloid. “Nicky itu orangnya aneh. Dia kan orang Bandung, tapi, kok, tidak pernah manggung di Bandung. Malah di Jawa Timur dia sering banget manggung. Kedua, Nicky punya jam tidur yang teratur, alias tidak pernah begadang atau bangun siang. Mungkin, rocker yang selalu bangun pagi cuma dia. Jadi, tidak sa­lah kalau saya menyebut dia ‘bayi sehat’,” demikian kata Tetty Kadi. Adapun keanehan Nicky yang ketiga adalah dia hanya mau manggung bila diiringi band grass rock

Tetty juga mengenal Nicky sebagai remaja yang punya banyak teman. “Tapi, yang amat menarik dari kepribadiannya, dia orang yang on time. Saya juga kagum pada power vokal Nicky. Sebagai rocker, walaupun harus teriak-teriak, suaranya tetap bening dan nadanya stabil. Selain itu, sebagai pribadi, dia tidak berubah dan tetap rendah hati, meski namanya sudah melejit,” tambah Tetty Kadi. 

Tidak hanya Tetty Kadi yang terkesan pada pelantun lagu-lagu Mata-Mata Lelaki, Jerit Anak Manusia, dan Bias Sinar ini. Salah seorang yang ‘jatuh cinta berat’ pada suara Nicky adalah Ian Antono, musisi yang punya andil sangat besar dalam membesarkan nama Nicky. Bersama Areng Widodo, ia menciptakan lagu Jarum Neraka yang berhasil melambungkan nama Nicky. “Rekaman awal saja sudah seperti ini bagusnya, bagaimana kalau sudah sering rekaman?” papar Ian, yang mengenal Nicky sejak usia 16 tahun itu. 

Ian tersenyum saat menceritakan pertemuan pertamanya dengan Nicky di tahun 1984. “Saat itu dia masih sangat culun dan polos,” tambahnya. “Penampilannya agak tomboy dan tidak sok pede. Setelah mulai rekaman, saya baru sadar betapa luar biasa bakatnya. Pada rekaman pertama saja vokalnya sudah jadi. Ia punya suara spesifik yang sangat bagus dan mampu menembus nada-nada rendah maupun tinggi dengan sangat prima. Penyanyi wanita pada umumnya, untuk mencapai nada C saja, sudah berat. Tapi, Nicky, sam­pai nada D dan bahkan E sekalipun, vibrasinya tetap bagus. Hebatnya lagi, pada nada rendah pun dia tetap stabil. Rasanya tidak berebihan kalau saya mendaulat Nicky sebagai penyanyi pop rock wanita terhebat yang pernah dimiliki Indonesia,” tutur Ian.

HOBI GONTA-GANTI MOBIL

Sejak lahir hingga awal memasuki bahtera rumah tangga, hidup Nicky memang bersimbah keberuntungan. Ketika kecil dimanja ayah, semasa remaja dipuja penggemar, memasuki masa dewasa bergelimang harta. Berkat hasil penjualan album Jarum Neraka, Nicky mendapat bonus sebuah mobil dari BASF. Itulah mobil pertama yang dimilikinya. Sejak itu, hampir setiap tahun ia berganti mobil, dari yang paling sederhana jenis minibus, hingga mobil mewah model terbaru. 

Selain bersuara emas, wajahnya pun enak dipandang. Tak heran bila banyak yang memanfaatkannya sebagai bintang iklan. Belakangan, ia pun ‘dilamar’ oleh Eddy D. Iskandar, novelis dan penulis skenario terkenal di tahun ‘80-an, yang kebetulan tetangganya di Bandung. Nicky diajak main film sebagai pemeran pembantu utama film layar lebar Biarkan Aku Cemburu. 

Alhasil, di akhir tahun ‘80-an, Nicky tidak hanya dikenal sebagai penyanyi, tapi juga pemain film dan bintang iklan. Tapi, sebagian besar tawaran main film dan iklan ia tolak. Selain jadwal manggung-nya sangat padat, ia juga merasa kurang sreg dengan peran-peran yang ditawarkan kepadanya. Belakangan, barulah ia bersedia main dalam film teve (SCTV) berjudul Prameswari. 

Kesibukan demi kesibukan terus mengimpitnya sampai tahun 2003. Sebagai penyanyi papan atas, semua kesibukan itu tentu membawa berkah bagi dompetnya. Namun, “Saya termasuk orang yang sangat boros,” Nicky berterus terang. “Mungkin, karena almarhum ayah saya tidak pernah mengajari anak-anaknya untuk hidup irit dan efisien. Apalagi, saya dan Kang Dicky persis seperti ayah saya, hobinya menjamu dan mengumpulkan saudara dan teman-teman. Saya sendiri senang mentraktir ke diskotek, kafe, atau restoran. Setiap kali mendapat honor, saya, bersama adik saya, Sacky, biasa mengajak 10-15 orang makan-makan.”

Selain itu, dengan uang yang berlimpah, Nicky tiba-tiba punya hobi baru yang aneh-aneh. Bukan hanya setiap tahun ia berganti mobil baru, mobil-mobil itu pun kemudian ia modifikasi sesuai keinginan dan seleranya. Hobi yang tentu saja memakan biaya yang tidak sedikit. Bukan itu saja. Ada lagi kesukaan Nicky yang tiba-tiba muncul setiap kali dia menghadapi stres. “Setiap kali bete, saya selalu berusaha mencari ‘mangsa’ di rumah,” ujarnya. 

Maksudnya, ia akan merapikan rumahnya yang sesungguhnya masih rapi. “Saya akan mencari-cari, apa saja yang saya anggap membosankan. Kalau warna catnya mulai terasa membosankan, langsung saya ganti. Kalau bosan pada perabotan tertentu, langsung saya beli yang baru. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi sering kali saya lakukan,” Nicky berkisah, sambil tertawa.

Untunglah, tidak semua hasil keringatnya itu ludes oleh hobi anehnya yang sering kali tiba-tiba datang itu. Melihat keborosan adiknya itu, Dicky lantas menyuruh Nicky membeli rumah, tanah, atau investasi di bidang lain. Alhasil, saat kembali mendapat honor yang cukup besar, ia pun langsung membeli tanah dan rumah di Bandung. “Semuanya diurus oleh kakak saya. Bahkan, sampai tanda tangan jual-belinya pun kakak saya yang melakukan, karena saat itu saya masih senang main-main. Menjelang saya menikah, rumah dan tanah (sekitar 1.000 meter di daerah Dago) itu saya serahkan kepada Mama. Saat berumah tangga saya hanya bawa mobil,” katanya.

SEMPAT DISANGKA LESBIAN

Suatu hari, semasa ayahnya masih hidup, sang ayah sempat berkata, “Kalau kelak si Teteh (Nicky) sudah 17 tahun, setiap malam Daddy akan memasang lampu yang sangat terang, sehingga ruang tamu dan teras depan rumah kita jadi terang. Biar kalau ada tamu laki-laki yang datang, kita bisa pantau terus. Daddy juga akan siapkan lima anjing khusus untuk menjaga si Teteh. Kalau perlu, begel dan kunci dari baja agar tidak ada yang berani iseng sama si Teteh.”

Sayang, sang ayah tidak sempat menyaksikan putri tercintanya yang cantik itu saat melewati masa-masa remajanya. Kalau saja ia masih hidup, mungkin ia akan mengurungkan niatnya untuk memberikan perlindungan ketat terhadap Nicky. Sebaliknya, Dicky malah khawatir melihat sang adik yang sepertinya tak suka pada anak laki-laki. “Selain sangat tomboy, saya prihatin melihat perkembangannya,” kenang Dicky. Pasalnya, berbeda dari gadis-gadis seusianya, Nicky yang waktu itu sudah lulus SMA, tak pernah ketahuan punya pacar. “Saya jadi agak khawatir dan bertanya-tanya, anak ini normal tidak, sih?” 

Nicky bukannya tak menyadari keprihatinan ibu maupun kakak-kakaknya. Ia sendiri mengakui, dalam urusan kewanitaan, ia agak terlambat. Pertama kali mendapat menstruasi saat sudah duduk di kelas 3 SMP. Namun, ia memang belum tertarik pada pria. Ketika hampir semua teman perempuannya di sekolah sudah punya pacar, ia tetap saja jomblo. “Saya bahkan sering diledek oleh teman-teman, jangan-jangan saya ini lesbian,” ujar Nicky, sembari tertawa. 

Selain itu, Nicky juga mengaku lebih suka bergaul dengan teman-teman lelaki. “Karena mereka lebih fair dan tidak nyinyir. Kebetulan tubuh saya seperti laki-laki, sangat tomboy! Setiap kali ramai-ramai naik motor keliling kota Bandung, kami boncengan bertiga-tiga. Itu jauh lebih mengasyikkan ketimbang pacaran” .

Tapi, kekhawatiran Dicky akhirnya sirna ketika di tahun 1985, Nicky menjalin hubungan dengan seorang pemuda dari Semarang. Naluri keperempuanannya mendadak muncul. Wajah cantiknya yang selama ini tidak pernah tersaput bedak atau pelembap, mulai diberi warna-warni. Begitu juga bibir dan matanya, kini mulai terjamah lipstik dan eye shadow. 

Hubungan dengan pemuda Semarang itu akhirnya tak jelas juntrungan-nya. Tahu-tahu sudah putus. “Saya mungkin haus figur ayah. Seperti ayah, pria ini cerdas dan tidak terlalu banyak omong. Tapi, namanya baru sekali jatuh cinta, ego acapkali men­jadi kendala,“ kenang Nicky, dengan mata menerawang. 

Baru beberapa tahun kemudian Dicky melihat adiknya pacaran lagi. Hetty, seorang pemilik salon di Bandung, memperkenalkan Nicky dengan Satria Kamal (Mamay), putra ketiga Solichin GP, mantan gubernur Jawa Barat, yang saat itu menjabat Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan) RI. Meski keduanya akhirnya berpacaran dan menikah, pada awalnya hubungan mereka agak sedikit alot. Tapi, berkat keuletan Mamay, si Teteh akhirnya menerima cinta tulus Mamay. Dengan buaian alunan kecapi dan degung Sunda, keduanya duduk di pelaminan pada 28 November 1992, saat usia Nicky 25 tahun.
Sumber: www.femina-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...